Sebagai warga yang menetap di Bekasi, kerap kali
saya melintasi jalan Raya Kali Malang atau yang sekarang diberi nama Jalan KH
Noer Ali. Jalan ini menjadi salah satu urat nadi utama yang menghubungkan
Bekasi dengan Jakarta. Ratusan ribu warga Bekasi setiap harinya melintasi jalan
tersebut dengan menggunakan beragam kendaraan bermotor.
Dari ratusan ribu penduduk Bekasi yang melintasi jalan ini,
saya yakin tidak banyak yang mengenal nama KH Noer Ali. Paling hanya
menebak-nebak bahwa nama KH Noer Ali adalah nama yang diambil dari nama seorang
tokoh masyarakat.
Dugaan tersebut tidak sepenuhnya keliru karena KH Noer Ali
ternyata bukan sekedar seorang tokoh masyarakat Bekasi, tetapi juga seorang
pahlawan nasional. Menurut sejarawan asal Bekasi, Ali Anwar, dalam pengantar di
blognya, KH Noer Ali merupakan seorang ulama besar kharismatik, terutama di
bilangan Jawa Barat, Jakarta, Banten, dan Bekasi yang dianugerahkan gelar
Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara pada Kamis, 9 Nopember 2006.
Saat pertahanan Jakarta-Bekasi-Karawang-Cikampek porak-poranda pada 1948,
pejuang kelahiran Bekasi pada 1914 itu menghimpun semua kekuatan dalam badan
perjuangan alternatif yang dibentuk dan dipimpinnya: Markas Pusat
Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya.
Selanjutnya dalam buku biografi tentang KH Noer Ali yang
ditulis Ali Anwar, disebutkan bahwa KH Noer Ali lahir tahun 1914 di Kampung.
Ujungmalang (sekarang menjadi Ujungharapan), Kewedanaan Bekasi, Kabupaten
Meester Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya seorang petani bernama H. Anwar
bin Layu, seorang petani dan ibunya bernama Hj. Maimunah binti Tarbin. Beliau
wafat pada tanggal 3 Mei 1992, dalam usia 78 tahun.
Untuk mengetahui lebih banyak tentang KH Noer Ali, berikut
kutipan tentang sejarah beliau:
Meskipun ayahnya hanya sebagai petani, namun karena kemauan
keras untuk menuntut ilmu, Noer Ali pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari
majikan ayahnya yang harus dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Selama enam
tahun (1934-1940) Noer Ali belajar di Mekah.
Saat di Mekah, semangat kebangsaannya tumbuh ketika ia
merasa dihina oleh pelajar asing yang mencibir: “Mengapa Belanda yang negaranya
kecil bisa menjajah Indonesia. Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang
kalau ada kemauan!”. Noer Ali pun “marah” dan menghimpun para pelajar Indonesia
khususnya dari Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang dijajah. Ia
diangkat teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekah
(1937).
Sekembalinya ke tanah air, Noer Ali mendirikan pesantren di
Ujungmalang. Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite
Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945
ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer Ali
mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi
Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III
Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya dalam Radio
Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali sehingga selanjutnya ia
dikenal sebagai K.H. Noer Ali.
Peranan pentingnya muncul ketika terjadi Agresi Militer Juli
1947. K.H. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia
diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI.
KH Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat jalan kaki dan mendirikan serta menjadi
Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang.
Saat itu, Belanda menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta
rakyat Rawagede untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak
ditempel di pepohonan. Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera itu
terkejut karena ternyata RI masih eksis di wilayah kekuasaannya. Belanda
mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan Lukas Kustaryo yang memang
bergerilya di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan karena tidak berhasil
menemukan pasukan itu, Belanda mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang
dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat sehingga
banyak yang kemudian bergabung dengan MPHS. Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600
orang, malang melintang antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung
ke kampung lain, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di situlah K.H. Noer
Ali digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ada juga yang menyebutnya sebagai “Belut
Putih” karena sulit ditangkap musuh. Sebagai kiai yang memiliki karomah, Noer
Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat mental anak buahnya. Ada wirid-wirid
yang harus diamalkan, namun kadang-kadang anak buahnya ini tidak taat. Tahun
1948 Residen Jakarta Raya mengangkat K.H. Noer Ali sebagai Koordinator
Kabupaten Jatinegara.
Ketika terjadi Perjanjian Renville, semua pasukan Republik
harus hijrah ke Yogyakarta atau ke Banten. Ia hijrah ke Banten melalui
Leuwiliang, Bogor. Di Banten, MPHS diresmikan menjadi satu baltalyon TNI
diPandeglang. Saat akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Ali pun
bersama pasukannya bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian
Roem-Royen. Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang Kemerdekaan
1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu delegasi Indonesia.
Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk melakukan kontak-kontak dengan
pasukan yang masih bertahan. Ketika pengakuan kedaulatan ditandatangani
Belanda, MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya selama masa perang kemerdekaan
dihargai orang termasuk oleh A.H. Nasution, yang menjadi Komandan Divisi
Siliwangi waktu itu. Kemudian dimulailah perjuangan K.H. Noer Ali dalam mengisi
kemerdekaan melalui pendidikan maupun melalui jalur politik.
Pemikiran Noer Ali untuk memajukan pendidikan di negeri ini,
sebenarnya sudah dimulai sejak ia mendirikan pesantren sepulang dari Mekah.
Setelah merdeka, peluang lebih terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga
Pendidikan Islam di Jakarta. Selanjutnya
Januari 1950 mendirikan Madrasah Diniyah di Ujungmalang dan
selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di berbagai tempat di
Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar Jawa.
Di lapangan politik, peran Noer Ali memang menonjol. Saat
Negara RIS kembali ke negara kesatuan, ia menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat
Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun 1950, Noer Ali diangkat sebagai
Ketua Masyumi Cabang Jatinegara.
Tahun 1956, ia diangkat menjadi anggota Dewan Konstituante
dan tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat.
Tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat
di Lembang Bandung, yang kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa
Barat.
Tahun 1971-1975 menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Di samping
itu, sejak 1972 menjadi Ketua Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP)
Jawa Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, ia bersikap sebagai pendamai, tidak
pro satu aliran. Dengan para kiai Muhammadiyah, NU, maupun Persis, ia bersikap
baik
Sumber: http://arisheruutomo.com/2015/11/10/mengenal-kh-noer-ali-sang-singa-bekasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar